Patriarki dan Orientasi Falosentris oleh Perempuan dalam Cerpen “The Lottery”

Cerpen “The Lottery” mengangkat sebuah cerita tentang ritual tahunan pelemparan batu kepada sebuah anggota keluarga yang terpilih secara acak di sebuah desa kecil dimana tradisi pada zaman itu merupakan hal yang sangat penting. Hal yang menarik dari ritual tersebut adalah pengundian diwakilkan oleh salah satu anggota keluarga berjenis kelamin pria yang biasanya dilakukan oleh seorang suami sebagai kepala keluarga. Akan tetapi tanpa alasan yang jelas pelaksanaan ritual yang kejam diwakilkan oleh seorang anggota keluarga berjenis kelamin wanita yang biasanya dilakukan oleh seorang istri. Pelemparan batu terhadap wanita sebagai praktik ritual yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya dilakukan oleh kaum pria melainkan juga oleh sesama wanita dalam masyarakat tersebut. Tidak ada perlawanan yang datang sebagai bentuk pembelaan selain dari diri sang korban itu sendiri.

Fenomena yang tergambar dalam cerpen “The Lottery” merupakan representasi dari adanya praktik-praktik patriarki dan orientasi falosentris dalam suatu komunitas sosial dimana prioritas dan kekuasaan terhadap laki-laki untuk mengatur semua hal dalam bidang kehidupan dilakukan secara langsung dan tidak langsung, kasat mata maupun tersamar. Praktik patriarki cenderung mengutamakan peran lelaki diatas segalanya dimana perspektif mereka digunakan untuk mengutamakan kepentingan kaum Adam. Sementara itu suara wanita seringkali tidak dipertimbangkan, apalagi didengar. Mr. Summers dan Mr. Graves yang memakai keotoriterian dan subjektivitas pria dalam memimpin acara The Lottery merupakan simbol dari praktik patriarki dalam masyarakat tersebut dimana dalam sistem tersebut memandang bahwa pemimpin harus berasal dari seorang manusia yang berpenis. Keputusan haruslah dibuat oleh pemimpin tersebut yang sudah pasti akan lebih memihak pada sesama kaumnya yang berpenis. Selain itu, istri yang harus berdiri di dekat suaminya selama acara berlangsung, perwakilan anggota keluarga dari jenis kelamin pria untuk mengambil kertas dalam kotak hitam, serta sikap anak-anak yang menganggap remeh panggilan ibunya tetapi bersikap patuh ketika sang ayah yang memanggilnya merupakan fenomena tenggelamnya peran wanita di dalam kehidupan. Nilai-nilai matriarkal selalu terbelenggu, bahkan tergeser, oleh sistem patriarkal. Dunia serta kehidupan didalamnya menjadi milik kaum Adam, sementara kaum Hawa lebih berperan sebagai “budak” yang bahkan tidak memiliki hak atas kehidupan dia sendiri. Wanita berdiri sebagai objek yang harus tunduk pada sistem-sistem yang mengutamakn kaum pria. Dominasi kaum pria dan subordinasi terhadap kaum wanita ini merupakan permasalahan klise yang ada sejak zaman dahulu, bahkan pada zaman modern seperti sekarang ini masih sering kita jumpai.

Namun dibalik semua itu, adanya fenomena penindasan seorang wanita, Tessie Hutchinson, yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat desa dalam cerpen ini secara jelas mengisyaratkan bahwa patriarki dan orientasi falosentris tidak hanya bisa dilakukan oleh kaum pria melainkan juga mendapatkan dukungan oleh sesama wanita. Contoh klise dalam kehidupan sehari-hari tentang dukungan terhadap falosentrisme oleh kaum Hawa adalah adanya pandangan dalam masyarakat kita bahwa posisi seorang istri ada di bawah suami. Seorang istri harus tunduk pada perintah dan peraturan yang dibuat oleh sang suami atau jika tidak mereka akan dianggap durhaka kepada suaminya. Selain itu, fenomena lain adalah seorang istri yang harus berpenampilan menarik demi menyenangkan suaminya atau wanita yang terobsesi pada bentuk tubuh yang ideal demi mendapatkan seorang pria yang dia sukai. Tetapi di lain pihak, tidak ada pandangan atau wacana yang menitikberatkan seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan rasa hormat dan kasih sayang yang tinggi atau seorang pria yang harus memperhatikan detail penampilannya demi mendapatkan seorang wanita yang dia sukai. Jackson menggarisbawahi hal ini dalam penggambaran tokoh Mrs. Delacorix dan Mrs. Graves yang tidak memihak pada ketidakadilan yang dialami Tessie Hutchinson, bahkan mereka cenderung menyatakan persetujuan bahwa Tessie Hutchinson patut mendapatkannya. Dukungan terhadap patriarki dan falosentrisme oleh kaum Hawa dapat dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pada masyarakat desa dalam cerpen “The Lottery”, dukungan tersebut disebabkan rasa patuh yang berlebihan terhadap tradisi kuno yang brutal dan tidak masuk akal. Tradisi dianggap sebagai hal yang sangat penting (‘tradition is paramount’) pada masyarakat zaman dahulu. Selain itu falosentrisme seringkali mendapat dukungan dari wacana normatif (keagamaan, moral etika), yaitu menganggap sakral hal-hal yang tidak manusiawi demi pembenaran.

Adanya dukungan terhadap patriarki dan falosentrisme sangat berkaitan dengan ideologi gender yang berbeda antar individu dalam konstruksi sosial. Suatu individu atau komunitas bisa saja tidak mempraktekkan patriarki dan falosentrisme dalam kehidupan. Hal ini dikarena ideologi gender bukanlah suatu konsep yang bisa didapatkan secara instan dan alamiah. Ideologi gender suatu individu dapat berbeda dengan individu yang lainnya karena pengalaman hidup dari setiap orang berbeda-beda. Ideologi dapat mengalami pergeseran makna dalam perkembangannya dan tidak terkait oleh standar yang baku dan tetap. Seperti halnya ideologi gender yang dianut oleh masyarakat desa dalam cerpen “The Lottery”, karena ideologi gender mereka yang mungkin sepaham dengan pandangan gender secara normatif, menjadikan Tessie Hutchinson dalam cerita ini sebagai korban atas penindasan yang tidak hanya dilakukan oleh kaum pria tetapi juga oleh kaum wanita. Oleh karena itu, sastra sangat berperan penting dalam membentuk konstruksi sosial dalam kaitannya dengan ideologi gender agar tidak ada lagi pembenaran atas hal-hal yang tidak berperikemanusiaan tetapi dianggap sakral.

Bagi yang belum pernah membaca cerpen tersebut silahkan kunjungi halaman ini.

Leave a comment

Filed under Short Stories

Leave a comment